Selasa, 18 Juni 2019

Ketakutan: Hal-Hal yang Tak Kunjung Selesai

Sumber gambar: Google.com

Akhir-akhir ini saya sering mengalami mimpi yang mirip, saya tahu sih kenapa. Mimpi seperti ini juga kerap muncul ketika saya mengalami masalah psikologis serupa, cuma kali ini rasanya lebih parah aja.
            Tiap malam punya alurnya sendiri. Saya bagaikan aktris yang berganti-ganti peran. Entah saya menjadi siswi SMA yang terlambat masuk sekolah, mahasiswi yang lupa mengumpulkan tugas, hingga staf kantoran yang telat mengirim laporan, tokoh yang saya perankan selalu cemas karena terlambat.
            Saya akan sering mimpi terlambat ketika diri saya merasa ‘ketinggalan’. Tidak melulu tentang persaingan, saya sebenarnya lebih sering berpacu dengan diri sendiri daripada dengan orang lain. Saya mengamati polanya, setidaknya ada jawaban yang mendekati kebenaran, saya merasa banyak hal tak kunjung selesai. Setidaknya, begitu menurut saya.
            Saya sudah berbulan-bulan tidak pergi ke kantor untuk bekerja (saya pernah ke kantor kelurahan, tapi tentu saja tidak untuk bekerja. Maka ‘pergi ke kantor’ tanpa ‘untuk bekerja’ saya pikir bisa menimbulkan beragam tafsir.), dan bagi saya sulit untuk mengatur waktu ketika tidak harus mandi dan pergi pagi-pagi. Saya tahu, jadwal saya mulai berantakan ketika saya berhenti bekerja secara formal.
            Saya rupanya tipikial orang yang semakin sibuk bisa semakin produktif, dan justru semakin luang akan semakin malas. Eh, apa kita semua begitu? Hari libur memang indah, tapi tidak jika setiap hari.
Saya memang mengisi waktu menganggur dengan menjadi freelancer dan pengajar les. Selain itu, untuk meraih pencapaian besar tahun ini, mendapatkan beasiswa. Tapi itu semua jauh dari kata sibuk. Saya masih punya waktu melimpah untuk sekadar mendengarkan musik, menonton drama Korea, dan terutama scrolling media sosial (yang tentu saja minim guna itu).
Saya tak seburuk itu sih dalam manajemen waktu, saya juga banyak membaca buku dan jurnal sebagai bekal kuliah nanti. Parahnya, saya menyelesaikan bacaan-bacaan itu amat lambat. Di sinilah saya mulai merasa ‘ketinggalan’, sekaligus payah.
Tentu saja saya merasa jemu. Saya mulai tertarik dengan buku-buku lain yang tidak ada hubungannya dengan materi kuliah, buku-buku yang daftarnya segera panjang pada sticky note berwarna merah jambu di laptop saya.
Pikiran saya mulai loncat-loncat. Ketika membaca materi kuliah, saya tergoda membaca buku lainnya. Saat membaca buku yang menarik, saya berpikir ada lebih banyak hal menarik dalam materi kuliah. Ujungnya, saya jarang dipuaskan oleh keduanya. Bukan karena bacaan-bacaan itu membosankan, namun karena otak saya yang tak mau diam. Apa bisa dibilang, fokus saya terganggu?
Pilihan termudah, sekaligus terburuk, adalah beralih dari keduanya untuk membaca tulisan-tulisan tak jelas di media sosial. Ribut-ribut politik, nikah dini, poligami, foto-foto kucing lucu, konspirasi hingga Keanu Reeves sering menyedot perhatian saya tanpa disadari. Hasil dari semua itu, membuat saya ingin menulis. Itulah masalah berikutnya.
Saya sadar sudah lama tidak menulis, Ya menulis sih, tapi dalam rangka bekerja, bukan suka-suka. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menyuarakan pikiran dan menumpahkan isi hati dalam sebuah tulisan. Yang saya ingat, cerpen terakhir yang saya buat, gagal selesai.
Saya punya banyak ide menulis, namun ketika jari-jari saya menyentuh keyboard, saya takut tulisan saya tidak akan selesai. Saya takut kehabisan ide untuk menamatkan tulisan, takut tulisan saya tidak layak baca, bahkan takut tidak bisa mengalirkan kata-kata ke dalam tulisan. Kenapa sampai begitu? Sebenarnya, saya tidak tahu.
Satu hal yang saya tahu, saya merasa buruk. Merasa bodoh, tak berbakat. Serius deh. Saya jadi malas memulai kuliah, yang belum dimulai itu. Saya takut otak saya tidak akan kuat, saya lagi-lagi merasa ‘ketinggalan’.
Buku-buku yang tak kunjung beres dibaca, materi kuliah yang tak cepat dipahami, tulisan-tulisan yang tak juga mewujud, membuat saya merasa tak bisa menyelesaikan apapun. Satu-satunya yang membuat saya merasa agak berguna adalah mampu mengedit naskah novel hingga rampung. Tapi itu juga bukan suatu pencapaian sih, soalnya draft itu masih anteng dalam folder laptop.
Lucunya, saya jadi merasa buruk karena telah merasa buruk karena buruk dalam menyelesaikan banyak hal. Persis seperti yang pernah diutarakan Mark Manson dalam buku pertamanya “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”. Alih-alih menyelesaikan satu per satu, saya justru lebih banyak menunda akibat apa yang saya sebut sendiri sebagai ‘kelelahan mental’. Saya banyak berpikir (banyak pikiran?), tapi aktivitas saya gak menuju ke mana-mana.
Sekarang saya akan mulai mencoba, tapi gak berharap berhasil, saya gak mau lagi bawa beban tak kasat mata dari awal berupa pengharapan-pengharapan. Saya hanya ingin coba, itu saja. Saya akan membaca ketika saya ingin baca, dan saya akan bodo amat apakah selesai atau tidak. Saya ingin belajar, sepanjang saya menikmatinya dan tertantang, bukan belajar hingga stres.
Saya akan menulis, ketika saya ingin menulis. Persetan, jika saya tidak bisa menulisnya sampai habis! Eh, tulisan ini sudah selesai kan?

Sabtu, 08 April 2017

Penetas Peradaban itu Bernama "Sarang Buku"

Gambar 1. Logo Sarang Buku ciwidey

Selama dengan buku kalian boleh memenjarakanku dimana saja, karena dengan buku, aku bebas.
(Mohammad Hatta 1902-1980)

Banyak dari generasi muda di pedesaan memiliki tubuh-tubuh yang merdeka dengan pemikiran yang nyaris terpenjara. Minimnya ruang-ruang diskusi dan terbatasnya penyediaan buku-buku bahkan pada kawasan pendidikan seperti sekolah menjadi faktor penentu bagi remaja pedesaan untuk memiliki pengetahuan dan wawasan yang kurang terbuka terutama terhadap dunia luar. Keterbatasan ini pada akhirnya memicu rendahnya minat generasi muda usia sekolah terhadap dunia literasi. Membaca dan menulis bukanlah rutinitas yang dilakukan oleh kebanyakan generasi muda pedesaan di luar tugas sekolah, minat terhadap kegiatan literasi seolah menjadi asing. Ironi yang terjadi pada perkembangan generasi muda sebagai iron stock negeri ini yang seharusnya sarat akan rasa ingin tahu terhadap ilmu pengetahuan dan keterbukaan pemikiran.

Ketika semua informasi mengalami digitalisasi, keberadaan buku justru semakin teralienasi. Lompatan teknologi yang digapai internet mampu membuat siapa pun mengakses semua informasi nyaris tanpa batas. Mewabahnya tren media sosial beberapa tahun ini menegaskan dunia saat ini tak berpagar dengan masyarakat yang saling terhubung satu sama lain, sebuah pesan teks dapat terkirim dari belahan dunia satu ke belahan dunia lainnya dalam hitungan detik dengan biaya yang sangat terjangkau. Media sosial akhirnya menjadi candu yang menyerang segala usia tak terkecuali generasi muda.


Hal tersebut tentu saja tak sepenuhnya merupakan berita baik bagi keberlanjutan peradaban suatu bangsa. Mengutip perkataan Milan Kundera seorang penulis dari Republik Ceko, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah." 

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menunjukkan sebesar 85,9 persen masyarakat Indonesia memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Hasil ini diperkuat oleh data statistik United Nations Educational, Scientific, and Cultural education (UNESCO) yang dilansir tahun 2012. Data tersebut menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Duri ini semakin tajam ketika melihat Taufiq Ismail menyatakan bahwa rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku (Kemdikbud 2016). Studi yang dilakukan oleh PISA (Programme Internationale for Student Assesment) pada tahun 2012 yang dipublikasikan pada tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia meraih peringkat ke-64 dari 65 negara yang diteliti dalam hal kecakapan sains, matematika, dan membaca yang dilakukan pada remaja usia 15 tahun (PISA 2014). Hal ini menunjukkan ada korelasi yang sangat jelas antara tingkat minat baca masyarakat dengan majunya suatu negara.

Berakar dari keresahan ini kami mencoba memfasilitasi diri untuk membuka ruang diskusi dengan saling berbagi pemikiran di antara kaum muda dengan mendirikan sebuah komunitas bernama "Kawah Sastra Ciwidey (KSC)". Awalnya KSC hanya mengadakan pertemuan-pertemuan via online, memanfaatkan media sosial untuk saling bertukar informasi mengenai buku, kesusasteraan, dan sebagai media pembelajaran untuk menulis baik fiksi maupun non-fiksi. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk melakukan kopi darat agar kedepannya KSC juga dapat melalukan pertemuan di dunia nyata untuk mewujudkan proses belajar bersama yang lebih optimal.

Kawah Sastra Ciwidey sebagai Penggagas Sarang Buku
Gambar 2. Logo Kawah Sastra Ciwidey

Semenjak resmi didirikan pada tanggal 1 Juni 2014 KSC sudah bercita-cita untuk membangun sebuah perpustakaan untuk melepas dahaga atas minimnya akses terhadap buku-buku di desa kami. Kegiatan literasi tentu saja tidak hanya terbatas pada menikmati pemikiran orang lain dalam buku bacaan tetapi juga menuangkan isi kepala pada sebuah tulisan. Menyadari hal ini kami mulai untuk membuat karya kami sendiri yang nantinya dikoreksi bersama oleh anggota lainnya.

Kami mulai mengumpulkan buku-buku pribadi untuk mulai mendirikan “Sarang Buku” juga membuat rak untuk memajangnya, setidaknya saat itu kami telah memiliki dua buah rak berisi buku. Kami memiliki visi menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya dalam masyarakat, hal ini tentu saja mampu dicapai jika masyarakat memiliki kedekatan dengan buku. Maka “Sarang Buku” tidak hanya menjadi sekadar perpustakaan tetapi bertransformasi menjadi tempat belajar, berkarya, dan mengembangkan bakat.

Melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh KSC dengan mengadakan "Lomba Baca Puisi Menolak Korupsi" pada tahun 2014 yang dihadiri banyak sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia, kami yang bermarkas di “Sarang Buku” mendirikan EPiC (English Plays in Ciwidey) pada tahun 2015. Kami sadar bahwa penguasaan Bahasa Inggris yang lemah di pedesaan juga merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda terhadap kemajuan zaman. Kegiatan belajar bahasa ini pun akhirnya meluas dengan mempelajari Bahasa Korea dan Arab meski intensitasnya tidak sebanyak belajar Bahasa Inggris.


Gambar 3. Anggota Pertama EPiC
Gambar 4. Peresmian EPiC ditandai dengan Awug (Makanan tradisional Sunda)

“Sarang Buku” mulai menarik tidak hanya pembaca yang berkunjung tetapi juga para donator buku dari berbagai kalangan, baik pribadi maupun organisasi. Akhir tahun 2015 merupakan momen yang membahagiakan bagi kami karena “Sarang Buku” mendapatkan kado akhir tahun dari Penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP) sebanyak 200 judul buku anak-anak. Hal ini mencetuskan ide baru untuk membawa buku langsung ke tengah-tengah masyarakat dengan mengadakan kegiatan bookpacker, yaitu menggelar buku di taman kota setiap hari minggu pagi.
Gambar 5. Penyerahan Kado Akhir Tahun Penerbit BIP
Gambar 6. Kegiatan Bookpacker

Selain kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas, KSC bersama “Sarang Buku” juga sukses mengadakan acara-acara lain yang mendorong generasi muda di desa kami untuk turut aktif dalam berbagai kegiatan positif, yaitu :
-Mengunjungi Rumah Dunia Gol A. Gong untuk belajar cara mengelola perpustakaan dan kegiatan di sekitarnya.
Gambar 7. Mengunjungi Rumah Dunia
-Bedah Novel “Maneken” karya SJ Munkian
Gambar 8. Bedah Novel "Maneken"
-Kompetisi Film Pendek dalam Festival Film Surabaya
Gambar 9. Film Pendek "Skenario Remang-Remang"

-Festival Bahasa 2016
Kami menggelar lomba menulis dan membaca puisi, lomba book review dalam Bahasa Inggris, dan lomba menyanyi.
Gambar 10. Panitia dan Peserta Festival Bahasa 2016

-Lomba Baca Puisi untuk Pelajar SMP di Ciwidey, Pasirjambu, dan Rancabali tahun 2016
Gambar 11. Pemenang  dan Juri Lomba Baca Puisi Tingkat SMP di Ciwidey, Pasirjambu, dan Rancabali

-Pengundian kupon baca setiap bulan bagi pelajar SD-SMA yang membaca di Sarang Buku minimal 30 menit. Peserta akan mendapatkan berbagai macam hadiah berupa buku bacaan dan alat tulis.
Gambar 12. Pemenang Kupon Undian Baca
Gambar 13. Anak-anak Membaca Puisi pada Acara Kupon Undian Baca

Perjuangan yang kami tempuh tentu saja masih panjang, kontribusi kami dalam KSC dan "Sarang Buku" pun masih hanya dapat dirasakan oleh daerah kami, Ciwidey dan sekitarnya di Jawa Barat. Kami berharap kedepannya manfaat yang ditebarkan bisa meluas ke daerah lainnya, juga menjadi ladang tumbuhnya anak muda berjiwa inspirator yang mau melakukan langkah serupa bahkan lebih baik lagi, di wilayah kami maupun di wilayah-wilayah lainnya. Semoga kita semua selaku generasi muda dan masyarakat Indonesia mampu menetaskan peradaban yang lebih baik untuk bangsa kita tercinta kelak.

Blog Kawah Sastra Ciwidey : http://kawahsastra.blogspot.co.id
Facebook Kawah Sastra Ciwidey : Kawah Sastra Ciwidey
Facebook Sarang Buku Ciwidey : Sarang Buku Ciwidey
Instagram Kawah Sastra Ciwidey : Kawah Sastra Ciwidey
Twitter Kawah Sastra Ciwidey : Kawah Sastra Ciwidey

DAFTAR PUSTAKA

Kemdikbud. 2016. http://www.paudni.kemdikbud.go.id/berita/8459.html. Diakses pada tanggal  6 April 2017.

PISA. 2014. PISA 2012 Results in Focus, What 15-Year-olds know and what they can do with what they know. OECD.

Tulisan ini dibuat untuk Lomba Blogger ULF 2017 Pustaka Unsyiah

Rabu, 22 Februari 2017

Maafkan Aku yang-masih-saja Mencintaimu

Maafkan aku yang jatuh cinta kepadamu

Maafkan aku yang terluka tanpa dilukaimu

Maafkan aku yang merindu tanpa tanya kabarmu

Maafkan aku yang memilih peduli padamu


Sudah sejauh manakah kau melangkah?

Sudahkah kau menembus bulan

Sudahkah kau mengitari cincin Saturnus

Sudahkah kau lelah kelilingi luasnya Jupiter


Maafkan aku yang pura-pura tak peduli

Nyatanya sangat peduli

Maafkan aku yang pura-pura tak lagi mencintai

Nyatanya sangat mencintai

Maafkan aku yang tak lelah memandangi

Hingga tak peduli bagaimana kau memandangku


Maafkan aku atas puisi yang membosankan ini

Karena mencintaimu terus kulakukan meski bosan


Maafkan aku atas puisi yang tak puitis ini

Karena cintaku padamu terlalu nyata untuk jadi romantis
This entry was posted in

Selasa, 21 Februari 2017

Menjadi Perempuan

Sumber gambar di sini

Sebenernya udah dari beberapa hari yang lalu pengen nulis tentang ini (nulisnya sih udah kelar tapi terus mengendap jadi draft) tapi karena kesibukan yang melanda (tidur, makan, nonton film) ditambah harus bed rest selama dua hari akhirnya tulisan ini baru bisa published sekarang. Twitter sempat diramaikan oleh #ShePersisted yang ternyata dilatar belakangi oleh seorang penulis dan seniman bernama Courtney Privett yang menghasilkan karya sebuah gambar yang menurut gue inspiring banget dan cukup tepat menggambarkan apa yang selama ini perempuan alami, yaitu selalu mendapatkan penilaian atas apa saja yang ada pada dirinya. Kalian yang mau liat artikel utuhnya bisa digosok di sini.

Gue sendiri sebetulnya tau tentang #ShePersisted bukan dari twitter (karena medsos masih penuuuh sama ribut-ribut politik yang yaaa sudahlah) tapi dari Huffington Post yang link-nya udah ditempelin di atas. Tapi apa yang disampein Privett ini ngena banget sih, meski jaman udah semakin terbuka dan semua orang tampaknya, secara kasat mata, memiliki hak atas pencapaian individunya namun tetap terasa betapa masyarakat kita (nggak cuma di Indonesia lho, di seluruh dunia juga sama hanya dengan kadar yang berbeda-beda) masih memarjinalkan posisi perempuan secara jelas ataupun laten.

Kalo laki-laki berusaha keras mengejar keinginannya maka ia akan disebut gigih, tapi kalo perempuan maka akan disebut ambisius. "Ngapain sih perempuan sekolah tinggi-tinggi, perempuan di rumah aja!" Bukan sekali-dua-kali kan kita denger kalimat model begitu. Kalo laki-laki jadi pemimpin terus nggak kenal kompromi dia bakal disebut tegas, kalo perempuan bakal disebut arogan. Standar ganda yang berpijak pada bias gender ini diakui atau tidak masih begitu melekat di masyarakat. Dan ini jelas-jelas bukan tentang hegemoni laki-laki kok, banyak perempuan juga mengekspresikan penilaian-penilaian yang menyudutkan sesama perempuan.

“The piece isn’t anti-male at all,” Privett said. “This stuff comes from everybody; our whole society is doing it.” 

Kalo hal yang paling bikin gue sedih sih adalah ketika pertama kali baca istilah full-time mother, yaitu seorang wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Jadi kalo seorang ibu bekerja maka dia disebut part-time mother gitu? Mana ada sih pekerja part-time yang mau ngorbanin nyawa. Emang kita bisa tega gitu ya ngasih gelar-gelar nggak jelas untuk para perempuan yang udah ngorbanin jiwa dan raga demi melahirkan sebuah kehidupan baru, dan bikin dikotomi sembarangan cuma karena seorang ibu memilih bekerja di luar rumah atau nggak.

Gue pernah baca beberapa tulisan tentang keutamaan menjadi full-time mother (mereka bener-bener pake istilah ini, and I didn't get it when the writer was woman) bahwa perempuan harusnya hanya mengurusi keperluan dalam rumah karena mencari nafkah adalah tugas laki-laki. Bahkan tulisan-tulisan itu juga ngasih saran seharusnya perempuan ngerasa cukup aja sih sama pendapatan suaminya karena rejeki udah ada yang ngatur dan biar dikit yang penting berkah. Tulisan kayak gini emang terasa religius sih meski menurut gue ya menyesatkan, karena kalo emang nggak cukup ya nggak cukup aja bukan berarti kufur nikmat. Ketika penghasilan kepala keluarga nggak mencukupi kebutuhan sehari-hari karena anggota keluarga makin banyak (anaknya nambah ya, bukan istrinya yang nambah) maka solusi selain bersyukur ya cari tambahan penghasilan. Di situasi seperti inilah biasanya seorang ibu memilih untuk bekerja (atau sudah bekerja sebelumnya untuk mengantisipasi hal kayak gini).

Mungkin dalam benak masyarakat kita (entah masyarakat yang mana, yang pasti yang judgmental people itu) perempuan yang bekerja itu tipikal ratu-ratu gitu ya, yang abis gajian hilir mudik shopping, nongki-nongki sambil ketawa-ketiwi, padahal menurut gue berapa persen sih perempuan yang memang punya privilege seperti itu, punya gaji dan posisi yang tinggi di perusahaan, bukankah sebagian besar malah terjebak di dalam pabrik-pabrik yang pengap dan sama sekali nggak pernah lagi bersua dengan matahari karena pergi-gelap-pulang-gelap? Belum lagi rumah mesti disapu, anak mesti disuapin, suami mesti dimasak (dibikinin masakan gitu maksudnya), kalo disuruh milih mereka juga pastinya lebih pengen di rumah dengan uang yang cukup. Menurut gue sih gitu.

Daripada tulisan ini meluber kemana-mana dan gue malah keliatan kayak orang lagi ngomel dibanding bikin tulisan, wajarinlah ya kategorinya juga Just A talk yang gue artiin sebagai acara ngomel-ngomel (terjemahan seenak udel, ditimpuk pake Google translate) jadi nulisnya juga nggak pake kerangka-kerangkaan dan tidak mengikuti standar mutu yang ada.Nah di sini gue punya sembilan gambar yang asik buat disimak tentang gimana seharusnya perempuan bersikap kalo jadi pemimpin.



#1 Nentuin Deadline
Menggertak : Senen mesti kelar ya!
Nggak menggertak : Menurut lo kalo senen beres oke?

#2 Ngasih ide
Menggertak : Gue punya ide nih...
Nggak menggertak : Gue sih cuman kepikiran gini...

#3 Ngirim e-mail permintaan
Menggertak : Kirimin gue presentasinya pas udah beres
Nggak menggertak : Hai Joni! Boleh liat nggak presentasinya kalo udah beres? Makasih ya Joni ganteng.

#4 Seseorang nyuri ide lo
Menggertak : Iya, itukan yang tadi gue omongin
Nggak menggertak : Makasih ya udah ngulangin begitu jelas
Gue : Cegat di pengkolan (gaya premannya keluar)

#5 Denger komentar yang seksis
Menggertak : Itu nggak pantes dan gue nggak suka
Nggak menggertak : *Cengar-cengir asem*
Gue : Cegat di pengkolan (lagi)

#6 Ketika lo udah tau tentang suatu hal
Menggertak : Gue sendiri yang ngajarin lo 6 bulan yang lalu
Nggak menggertak : Gue demen deh sama lo, eh bukan! Gue demen deh kalo lo ngejelasin lagi hal itu ke gue

#Ketika lo liat ada kesalahan
Menggertak : Angka-angka ini salah
Nggak menggertak : Duh gue minta maaf nih, ini angka pada bener kagak ya? Gue nggak yakin soalnya, gue kan nggak suka angka. Gue sukanya lo.

#Bekerja sama (bareng laki-laki)
Menggertak : Ngetik normal (yang udah biasa pasti cepet lah ya)
Nggak menggertak : Ngetik pake satu jari

#Ketika lo nggak setuju
Nah klimaks sembilan gambar itu ada di sini ternyata, perempuan sih emang nggak boleh ngeritik, kalo mau ngeritik ya pake kumis aja.

Ya udah deh gitu aja tulisan ini, oh iya sembilan gambar itu didapet di sini. Caption-nya nggak usah diperkarakan ya, jarang-jarang kan dapet terjemahan bahasa Inggris kayak gitu, kalo di Google translate sih mana ada. Sekali lagi seperti tulisan Just A Talk sebelumnya, jika merasa tulisan ini bermanfaat silakan dibagikan namun jika merasa tidak bermanfaat mungkin lo belum dapet hidayah dan perlu di-ruqyah (yang nulis langsung ditimpukin pake duit).










Senin, 13 Februari 2017

Patriot

Dokumentasi Pribadi

Walaupun negara besar,
Kehidupan kami sangat kecil, 
karena kami hanya merasa aman
di gelembung masing-masing.

Identitas Buku

Judul Buku       : Patriot
Penulis Buku    : Maria Audrey Lukito
Editor               : Angelia Samori
Penerbit Buku  : PT Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia)
Tahun Terbit    : 2011
Halaman          : XII+135 halaman

Patriot merupakan sebuah autobiografi yang ditulis oleh seorang gadis berkewarganegaraan Indonesia dan berdarah Tionghoa bernama Maria Audrey Lukito, gadis genius yang telah menorehkan banyak prestasi. Audrey, nama panggilan gadis ini, telah memecahkan rekor MURI pertamanya pada usia 10 tahun, yaitu ketika ia meraih skor 573 untuk ujian TOEFL internasional yang kemudian dipecahkan kembali oleh dirinya sendiri pada usia 14 tahun dengan skor 670.

Audrey juga mampu menghafal kamus bahasa Inggris sebanyak +/- 650 halaman pada usia 11 tahun, dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada usia 13 tahun. Setelah itu Audrey dibimbing di Mary Baldwin College, Virginia, Amerika Serikat untuk mengikuti Program for the Exceptionally Gifted (Program untuk anak-anak dengan IQ di atas rata-rata sebelum ditransfer untuk melaksanakan undergraduate program di universitas-universitas prestisius di Amerika Serikat). Kemudian Audrey melanjutkan program sarjananya untuk bidang Fisika di The College of William and Mary in Virginia dan mampu menyelesaikannya dalam waktu tiga tahun saja dengan predikat Summa Cum Laude pada usia 16 tahun. Prestasinya tersebut mampu mengatarkan Audrey menjadi anggota Phi Beta Kappa (Masyarakat kehormatan untuk bidang sains).

Selain memaparkan prestasi apa saja yang telah diraih oleh Audrey selama usia akademiknya, buku ini juga menuturkan semangat Audrey yang ingin sekali membaktikan diri dan ilmu yang telah diraihnya untuk tanah airnya sendiri, Indonesia. Tentu saja cita-cita mulia gadis ini tidak serta merta mulus tanpa hambatan tetapi juga penuh rintangan yang justru didapat dari orang-orang di negerinya sendiri hingga menyebabkan Audrey harus jatuh ke dalam depresi yang berat.

Kelebihan Buku

Buku ini mengajarkan kita untuk tanpa lelah belajar meski telah memiliki kelebihan dalam hal daya pikir, Audrey bahkan merasa sedih ketika orang-orang memujinya karena ia mudah sekali dalam mempelajari banyak hal, mengapa mereka hanya memuji kelebihan yang ada pada dirinya tanpa pernah mau tahu bahwa meskipun dengan otak yang genius Audrey tetap belajar siang dan malam untuk meraih apa yang diimpikannya.

Buku ini pun menyajikan esai-esai karya Audrey, termasuk esai yang meloloskannya untuk menerima bimbingan di Mary Baldwin College, juga ringkasan tesis Audrey untuk mendapatkan gelar sarjana di bidang Fisika.

Buku ini cukup tipis sehingga tidak menjenuhkan, gaya bahasanya yang sederhana membuatnya mampu dicerna oleh semua umur.

Kekurangan Buku

Judul kurang menarik meskipun hal ini ditolong dengan desain sampul yang simpel namun pas.

Menggunakan sudut pandang orang ketiga sehingga pembaca merasa buku itu tidak ditulis oleh Audrey sendiri, meskipun ada beberapa bagian bercetak miring dimana Audrey menggunakan sudut pandang orang ke satu untuk mengungkapkan pemikirannya secara langsung, namun hal ini justru terasa sebagai pengulangan apa yang telah disampaikan sebelumnya.

Gaya bahasa yang digunakan terlalu dramatis dan kurang menyampaikan secara rinci sebenarnya apa yang ingin Audrey lakukan untuk Indonesia, seperti berkarya atau bekerja di bidang apa dan bagaimana, buku ini hanya berkutat dengan 'berbakti dan memajukan Indonesia' tanpa penjelasan secara riil.