Sumber gambar: Google.com
Akhir-akhir ini saya
sering mengalami mimpi yang mirip, saya tahu sih kenapa. Mimpi seperti ini juga
kerap muncul ketika saya mengalami masalah psikologis serupa, cuma kali ini
rasanya lebih parah aja.
Tiap malam punya alurnya sendiri. Saya bagaikan aktris
yang berganti-ganti peran. Entah saya menjadi siswi SMA yang terlambat masuk
sekolah, mahasiswi yang lupa mengumpulkan tugas, hingga staf kantoran yang
telat mengirim laporan, tokoh yang saya perankan selalu cemas karena terlambat.
Saya akan sering mimpi terlambat ketika diri saya merasa
‘ketinggalan’. Tidak melulu tentang persaingan, saya sebenarnya lebih sering
berpacu dengan diri sendiri daripada dengan orang lain. Saya mengamati polanya,
setidaknya ada jawaban yang mendekati kebenaran, saya merasa banyak hal tak kunjung selesai.
Setidaknya, begitu menurut saya.
Saya sudah berbulan-bulan tidak pergi ke kantor untuk
bekerja (saya pernah ke kantor kelurahan, tapi tentu saja tidak untuk bekerja.
Maka ‘pergi ke kantor’ tanpa ‘untuk bekerja’ saya pikir bisa menimbulkan
beragam tafsir.), dan bagi saya sulit untuk mengatur waktu ketika tidak harus
mandi dan pergi pagi-pagi. Saya tahu, jadwal saya mulai berantakan ketika saya
berhenti bekerja secara formal.
Saya rupanya tipikial orang yang semakin sibuk bisa
semakin produktif, dan justru semakin luang akan semakin malas. Eh, apa kita
semua begitu? Hari libur memang indah, tapi tidak jika setiap hari.
Saya
memang mengisi waktu menganggur dengan menjadi freelancer dan pengajar les. Selain itu, untuk meraih pencapaian
besar tahun ini, mendapatkan beasiswa. Tapi itu semua jauh dari kata sibuk.
Saya masih punya waktu melimpah untuk sekadar mendengarkan musik, menonton
drama Korea, dan terutama scrolling media sosial (yang tentu
saja minim guna itu).
Saya
tak seburuk itu sih dalam manajemen waktu, saya juga banyak membaca buku dan
jurnal sebagai bekal kuliah nanti. Parahnya, saya menyelesaikan bacaan-bacaan
itu amat lambat. Di sinilah saya mulai merasa ‘ketinggalan’, sekaligus payah.
Tentu
saja saya merasa jemu. Saya mulai tertarik dengan buku-buku lain yang tidak ada
hubungannya dengan materi kuliah, buku-buku yang daftarnya segera panjang pada sticky note berwarna merah jambu di
laptop saya.
Pikiran
saya mulai loncat-loncat. Ketika membaca materi kuliah, saya tergoda membaca
buku lainnya. Saat membaca buku yang menarik, saya berpikir ada lebih banyak
hal menarik dalam materi kuliah. Ujungnya, saya jarang dipuaskan oleh keduanya.
Bukan karena bacaan-bacaan itu membosankan, namun karena otak saya yang tak mau
diam. Apa bisa dibilang, fokus saya terganggu?
Pilihan
termudah, sekaligus terburuk, adalah beralih dari keduanya untuk membaca
tulisan-tulisan tak jelas di media sosial. Ribut-ribut politik, nikah dini,
poligami, foto-foto kucing lucu, konspirasi hingga Keanu Reeves sering menyedot
perhatian saya tanpa disadari. Hasil dari semua itu, membuat saya ingin
menulis. Itulah masalah berikutnya.
Saya
sadar sudah lama tidak menulis, Ya menulis sih, tapi dalam rangka bekerja,
bukan suka-suka. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menyuarakan pikiran
dan menumpahkan isi hati dalam sebuah tulisan. Yang saya ingat, cerpen terakhir
yang saya buat, gagal selesai.
Saya
punya banyak ide menulis, namun ketika jari-jari saya menyentuh keyboard, saya takut tulisan saya tidak akan selesai. Saya takut kehabisan
ide untuk menamatkan tulisan, takut tulisan saya tidak layak baca, bahkan takut
tidak bisa mengalirkan kata-kata ke dalam tulisan. Kenapa sampai begitu?
Sebenarnya, saya tidak tahu.
Satu
hal yang saya tahu, saya merasa buruk. Merasa bodoh, tak berbakat. Serius deh.
Saya jadi malas memulai kuliah, yang belum dimulai itu. Saya takut otak saya
tidak akan kuat, saya lagi-lagi merasa ‘ketinggalan’.
Buku-buku
yang tak kunjung beres dibaca, materi kuliah yang tak cepat dipahami,
tulisan-tulisan yang tak juga mewujud, membuat saya merasa tak bisa
menyelesaikan apapun. Satu-satunya yang membuat saya merasa agak berguna adalah
mampu mengedit naskah novel hingga rampung. Tapi itu juga bukan suatu
pencapaian sih, soalnya draft itu
masih anteng dalam folder laptop.
Lucunya,
saya jadi merasa buruk karena telah merasa buruk karena buruk dalam
menyelesaikan banyak hal. Persis seperti yang pernah diutarakan Mark Manson
dalam buku pertamanya “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”. Alih-alih
menyelesaikan satu per satu, saya justru lebih banyak menunda akibat apa yang
saya sebut sendiri sebagai ‘kelelahan mental’. Saya banyak berpikir (banyak
pikiran?), tapi aktivitas saya gak menuju ke mana-mana.
Sekarang
saya akan mulai mencoba, tapi gak berharap berhasil, saya gak mau lagi bawa beban
tak kasat mata dari awal berupa pengharapan-pengharapan. Saya hanya ingin coba,
itu saja. Saya akan membaca ketika saya ingin baca, dan saya akan bodo amat
apakah selesai atau tidak. Saya ingin belajar, sepanjang saya menikmatinya dan
tertantang, bukan belajar hingga stres.
Saya
akan menulis, ketika saya ingin menulis. Persetan, jika saya tidak bisa
menulisnya sampai habis! Eh, tulisan ini sudah selesai kan?